Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab
mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu
hal, baik berupa komunikasi atau informasi. Lalu, bagaimana sejarah awal mula
terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu ?.
Simak penjelasan berikut ini.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika
mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan
tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan
yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para
anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang
dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab
dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan
Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya
menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab
menjadi hilang.
Dari kondisi
inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan
orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa
Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa
Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa
Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah
Sayidina Ali Bin Abi Thalib r.a
Ketika Abul Aswad Ad-Duali sedang berjalan-jalan dengan
anak perempuannya pada malam hari, sang anak menengadahkan wajahnya ke langit
dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang.Lalu ia berkata,
مَا أَحْسَنُ
السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrohkan
hamzah, yaitu menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian
sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا
يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya ?”.
Namun
sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin
mengungkapkan kekaguman”.
Maka
sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ
. “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…
Abul Aswad Ad-Duali ketika melewati seseorang yang sedang
membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan
ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ
مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada
kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi
rusak dan menyesatkan.
Seharusnya
kalimat tersebut adalah, أَنَّ
اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali
menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan tata Bahasa
Arab ini menghilang, padahal peristiwa tersebut terjadi pada zaman Sahabat Nabi
s.a.w.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi
Thalib r.a, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata,
bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub
(kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata
kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ
هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut
dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad
Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab
lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul
ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al
Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) ,
sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam
kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab
berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal
kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak
henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka memperbaharui pembukuan ilmu
nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah singkat awal terbentuknya ilmu nahwu,
di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib,
sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah).
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal
bahasa arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut.
Hal ini mengakibatkan timbulnya aliran-aliran
dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu
dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat.
Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh
daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris
an-Nahwiyah) tersebut: aliran (madrasah) Al-Basrah, Kufah, Baghdad, Andalus dan
Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu
hanya dua, Basrah dan Kufah.
Aliran (Madrasah) Basrah.
Aliran (Madrasah) ini berkembang
pesat hingga terkenal di kalangan para ulama nahwu (Nahwiyyiin), dikarenakan
begitu semangat dan gigihnya para pelajar (tholib) dalam mempelajari ilmu nahwu
yang langsung diajar oleh penyusun kitab nahwu pertama kali, Abu Aswad
ad-Dhuali.
Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam
mendalami ilmu nahwu adalah ketika Negeri Basrah telah bercampur penduduknya
antara pribumi (baca; warga Basrah) dengan non pribumi (azam) yang hidup
layaknya seperti penduduk asli.
Bahasa arab merupakan bahasa resmi negara pada
waktu itu, namun karena adanya percampuran non pribumi dalam negeri itu yang
secara otomatis mengakibatkan adanya kerusakan dalam susunan tata bahasa arab.
Imam Sibawaihi merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah
mengarang buku nahwu yang berjudul "al-Kitab".
Diantara ciri khas aliran (madrasah) Basrah
adalah selalu berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat
khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur yang mereka takwilkan atau menggolongkannya sebagai kelompok yang
ganjil (syadz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan sima'i dalam
memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab.
Aliran (Madrasah) Kufah.
Negeri Kufah terkenal sebagai
Negerinya para Muhadditsin, Penyair dan Qira ah. Sehingga terdapat di dalamnya
tiga ulama yang masyhur dalam qira ah seperti kisai, Ashim Bin Abi Al-Nujud dan
Hamzah. Kisaai termasuk pendiri aliran (Madrasah) Kufah. Penadapatnya terhadap
suatu masalah dalam gramatikal bahasa arab selalu menjadi acuan, baik
pengikutnya maupun yang lainnya.
Ciri khas aliran (madrsah) ini, lebih sering
menggunakan qiyas dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan
gramatikal bahasa arab. Jadi, begitu indahnya bahasa
arab memiliki pemerhati bahasa yang mampu menjaga estetika bahasa itu sendiri.
Bagaimana dengan bahasa Indonesia?, akankah tetap memiliki estetika bahasa yang
tinggi?
Sejarah Singkat Alfiyyah Ibnu Malik
Secara umum,materi yang dicakup oleh kitab ini ialah:
a. Kalam (kalimat) dalam bahasa Arab
b. Kata-kata yang mu‘rab dan mabni
c. Kata nakirah
(umum) dan ma‘rifah (khusus)
d. Kata nama
(‘alam), kata tunjuk (isyârah), kata-sambung sifat (maushûl)
e. Pokok kalimat
(ibtida’) dan persoalannya.
f. Fi‘il (kata kerja) atau huruf (partikel) yang
merusak susunan-lazim kalimat, seperti kâna dan semisalnya, laisa (penegasian)
dan beberapa huruf yang serupa dengannya, inna dan semisalnya, serta zhanna dan
semisalnya (beberapa kata kerja abstrak).
g. Penegasian
mutlak kata “lâ”.
h. Fi‘il (kata kerja) yang memiliki dua hingga tiga objek
(maf‘ûl).
i. Fa’il (kata pelaku) dan Naib al-Fa’il
(pengganti pelaku).
j. Isytighâl ‘âmil
(kesibukan kata kerja terhadap dua pelaku [ma‘mûl] atau lebih).
k. Fi‘il muta‘addî (transitif) dan lâzim (intransitive).
l. Tanâzu‘ fi
al-‘amal (perebutan dalam amal).
m. Mafâ‘îl
(beberapa maf‘ûl), seperti maf‘ûl bih (objek langsung) yang dipengaruhi oleh
fi‘il, mashdar, isim fa‘il, isim maf‘ûl, shighah mubâlaghah, fi‘il ta‘ajjub,
isim fi‘il, dan sifat yang serupa dengan isim fa‘il; maf‘ûl mutlak, maf‘ûl li
ajlih, maf‘ûl fîh, dan maf‘ûl ma‘ah.
n. Maf‘ûl
(objek) yang kata kerjanya (amil) dibuang, seperti tahdzîr (peringatan), ighrâ
(imbauan), ikhtishâsh (pengkhushusan—biasanya berupa sisipan dalam kalimat),
isytighâl (kesibukan kata kerja untuk dua objek/maf‘ul), dan nida
(panggilan)—termasuk di dalamnya: istighatsah (ungkapan minta tolong), nudbah
(ungkapan keterkejutan atau kesakitan), dan membuang huruf akhir nama orang
yang dimintai tolong.
o. Hâl (sifat
bagi pelaku), tamyîz (keterangan tentang jenis, ukuran, berat, atau jumlah
suatu benda), istitsnâ’ (ungkapan negasi).
p. Tawâbi‘ (pelengkap
kata atau kalimat), seperti na‘at (sifat untuk kata benda), taukîd
(penguatan/penegasan suatu kata: benda, kerja, partikel), ‘athaf (penyambungan
dua kata atau lebih melalui kata sambung), dan badal (penggantian kata dengan
kata sesudahnya yang berhubungan).
q. Majrûrât
(huruf-huruf yang menyebabkan kata benda dibaca jar/kasrah), idhafah
(penyandaran suatu kata dengan kata yang lain), dan isim yang tidak menerima
tanwin.
r. Kata kerja
pujian dan celaan (ni‘ma, bi’sa dan sejenisnya).
s. Isim-isim
yang serupa dengan fi‘il dan yang menunjukkan suara hewan.
t. Nun taukid,
fi‘il yang mu‘rab, amil-amil jazm (indikator fi‘il mu‘rab), dan susunan kalimat
pengandaian (seperti lau—termasuk ammâ, laula, dan laumâ).
u. Pembentukan
kata jamak, baik yang beraturan maupun tidak beraturan, seperti jamak taksir
yang tidak bisa dianalogikan bentuknya.
v. Bilangan dan takaran, serta ungkapan narasi.
w.Perubahan
bentuk kata seperti tashghir (pengecilan) dan nisbah (penggolongan).
x. Kaidah-kaidah
bacaan dalam kalimat seperti waqf (membaca sukun) pada huruf terakhir dan
imâlah (bacaan antara “a” dan “i”), kaidah penulisan hamzah washal
(tersambung), dan beberapa kaidah morfologi Arab seperti
ibdal, idghom dan sebagainya.
ibdal, idghom dan sebagainya.
Meski
hanya memuat 1002 nazhom atau sekitar 100-an halaman dengan ukuran buku saku,
muatan kajian Alfiah sangatlah mendalam. Hal itu karena setiap nazhom Alfiah
mengandung bahasan yang syâmil (mencakup) dan jâmi‘ (menghimpun). Misalnya,
definisi kalam dalam Alfiyah diungkapkan dengan lafzh mufîd (kata yang
memberikan makna/pemahaman). Padahal, dalam definisi lain tentang kalam, sebuah
kalimat bahasa Arab haruslah murakkab (tersusun dari beberapa kata), musnad
(memilik pangkal kata), mufid (memberi makna), dan wadha‘ (sengaja diucapkan).
Dari sini, tampak bahwa definisi kalam dalam Alfiyah tersebut lebih
ringkas-padat sekaligus mencakup dan menghimpun definisi kalam dalam kitab
lain.
Selanjutnya, penjelasan-penjelasan kaidah Alfiyah juga sangat padat
makna. Inilah sebabnya Kitab Alfiyah ini memiliki banyak syarah (penjelasan
makna dan maksudnya). Bahkan, ada syarah Kitab Alfiyah yakni Syarah Ibn ‘Aqil
yang kemudian disyarahi oleh kitab lain yang lebih tebal (sekitar dua jilid
dengan ketebalan 1200-an halaman), yaitu Syarah Ibn ‘Aqil li Qadhil Al-Qudhat
Abu Al-Hasan.
Patut dikemukakan bahwa pengajaran Kitab Alfiyah di pesantren-pesantren
Indonesia saat ini banyak menggunakan metode hafalan. Artinya, para santri
(pelajar) menghafalkan kaidah-kaidah nahwu dan sharaf tersebut secara
individual lalu Mu‘allim atau Ustad menguji hafalan mereka di depan kelas,
bahkan kemudian ditampilkan dalam sebuah perayaan yang menunjukkan keberhasilan
santri dalam mempelajari kitab tersebut. Perayaan ini menunjukkan keistimewaan
Alfiyah dibandingkan dengan daras-daras lain—seperti tafsir, hadis, fiqih,
ushul fiqih, dan sebagainya yang memang tidak diajarkan dengan metode hafalan.
Kelebihan mengkaji Ilmu Nahwu-Shorof khususnya alfiyah dibandingkan dengan
ilmu fiqh dan lainnya adalah ketetapan qoidahnya. qoidah Nahwu-Shorof merupakan ilmu yang paten/pasti
yaitu qoidahnya tidak akan pernah berubah ila akhirizzaman.sedangkan didalam
ilmu fiqh akan selalu terus berkembang
mengikuti zaman, seiring muncul dan berkembangnya suatu masalah.
pada zaman dulu tidak sedikit para kyai di Indonesia yang menghafal
seribu bait alfiyah, bahkan sangking cintanya beliau-beliau kepada alfiyah ini
sampai-sampai bait yang ada di dalam alfiyah ini beliau jadikan sebagai dalil dari Ilmu fiqh, tasawuf
dll.seperti halnya yang di lakukan oleh saikhona kholil bin abdul latif
bangkalan. Tatkala beliau sedang makan bersama para kyai-kyai, beliau tidak
mau makan memakai sendok,tapi langsung menggunakan jari tangannya. Ketika
beliau ditanya oleh salah seorang kyai tentang kenapa beliau tidak makan
menggunakan sendok?, sontak beliau menjawab dengan dalil yang ada di dalam bait
alfiyah yang berbunyi:
“وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ
اٌلمُتَّصِلْ # إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئُ اْلمُتَّصِلْ”
yang maksud dari
bait itu adalah selama dalam keadaan tidak kepepet, tidak boleh menggunakan
dlomir munfasil (pisah) selagi masih bisa menggunakan dlomir muttasil
(sambung). Di sini kyai kholil mengibaratkan tangan sebagai dlomir
muttasil yang sambung dengan jasad kita.
Dan sendok di ibaratkan sebagai dlomir munfasil. jadi selama tangan kita masih
bisa digunakan,maka tidak perlulah kita menggunakan alat (sendok dsb) selama
kita tidak terlalu membutuhkan.
Tapi yang terjadi sekarang adalah kebanyakan santri pada zaman
sekarang mengenal kitab alfiyah hanya
sekedar kitab nadzom yang tak lebih hanya menerangkan tentang kaidah-kaidah
bahasa arab saja.tanpa mempedulikan latar belakang dan nama asli sang pengarang
tersebut. Maka dari itulah kami akan mengulas sedikit dari latar belakang dan
nama beliau Insya allah.
BIOGRAFI SINGKAT
SYAIKH IBNU MALIK
(Pengarang kitab
Alfiyyah)
Ibnu
Malik, nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abdillah ibn Malik al-Thay, lahir
pada tahun 600 H. di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan
Andalusia (Spanyol).
Ibnu
malik juga mendapatkan nama laqob (julukan) Jamaluddin dan nama kunyah Abu
Abdulloh,Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan
mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam
karang-mengarang buku-buku ilmiah.
Pada masa kecil, Ibn Malik
menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaibuni (w. 645
H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah
haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus.
Di
sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w.
643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn
Ya’isy al-Halaby (w.643H). Di kawasan dua
kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena
cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang
menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh
orang-orang Syiria waktu itu.
Teori
nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam
Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat
Ibn Kholkan. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini,
senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak
didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia
mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan.
Semua pemikiran yang diproses
melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk
nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan
tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada karangan-karangan para
tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait. Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait. Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait.
Dalam muqaddimahnya, kitab puisi
yang memakai Bahar Rojaz (nama salah satu jenis irama lagu dalam melagukan
syair arab) ini disusun dengan maksud:
(1) menghimpun
semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting.
(2) menerangkan
hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun
kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan
satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.
(3) membangkitkan
perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya.
Semua itu terbukti, sehingga
kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu,
penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas
dan lebih senior.
Dalam Islam, semua junior harus
menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan
kreativitas. Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di
dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat
kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibnu Malik menjadi popular, dan pendapatnya
banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di
Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah
karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik.
Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi
Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir,
maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik.
Sebelum
kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak
diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan
dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi
kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari
karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud
penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil
manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn
Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan
metode baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah
keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula
teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan
gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk
menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.).
Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh
ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir)
terhadap syarah itu.
Dalam
kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari
empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang
menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum
selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama
yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah.
Syarah
Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibnu Malik sendiri,
Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah
yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq,
tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin
bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang
bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak
rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an
bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh
ulama.
Kritikus yang pada
masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan,
hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz. Karena itu,
penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn
Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi.
Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama
besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibnu Jama’ah,dalam redeaksi
lain Ibnu Kholkan (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H),
Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi(w.994H),Dan Qadli Taqiyuddin ibnu
Abdul qadir al-Tamimiy (w.1005H).
Di antara
penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan
ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749
H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah,
keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia,
tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain
Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil
al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula
Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibnu Hisyam ketika menyusun
Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi.
Ibnu Hisyam (w.761 H) adalah ahli
nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di
antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal
dengan sebutan Audlah .Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu
istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang
tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain
bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya
terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan
semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya.
Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn
Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di
al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi
Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).
Adapun Ibnu Aqil (w. 769 H)
adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di
Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah.
Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang
ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah
secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik
pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang
paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum
santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis
hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri,
Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi
adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan
informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai
sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat
mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para
penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain
mengulas pendapat Putra Ibnu Malik, Al-Muradi, Ibnu Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibnu
Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam
Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua
kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara
sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber
aslinya.
Kitab ini memiliki banyak
hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah
Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam
muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan,
bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu:
(a) Karangannya
akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai
dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni.
(b) Karangannya
akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi
pembaca.
(c) Menyajikan
komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan
demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang
ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
MASA MENCARI ILMU DAN MENGAJARKANNYA.
Di
kota Aljayyan(salah satu kota di Spanyol)
ini beliau dilahirkan dan dibesarkan serta menimba dasar-dasar ilmu
agama, untuk meningkatkan ilmu dan wawasannya, imam ibnu malik pindah ketanah
Halb. Dikota inilah beliau belajar tentang ilmu-ilmu lughot Arab,madzhab dan
lain-lain,beliau memang seorang pemburu ilmu. beliau kemudian pindah ketanah
Damaskus, ibukota Syiria, di kota ini beliau mendapatkan banyak ilmu,baik
lughot Arab,Fiqh,Hadits,Tafsir,dan ilmu lainnya. Beliau yang asalnya bermadzhab
Malikiyah setelah belajar lama di kota Damaskus akhirnya berpindah madzhab
Syafi’iyah. Berkat ketekunan beliau, akhirnya beliau menjadi seorang yang
terkenal dalam bidang lughot Arab,Nahwu,Shorof,Hadits,dan tafsir.
Imam
ibnu malik mengajarkan ilmu nahwu dan shorof pada para ulama’ mutaqoddimin,
beliau adalah seorang ulama’ ahli dalam bidang hafalan, beliau termasuk orang
yang hafal Qiro’ah-qiro’ah Al-qur’an beserta alasannya,hafal tafsir dan hadits.
Beliau sungguh pecinta ilmu, ini terbukti pada suatu hari menjelang wafatnya,
beliau masih sempat menghafalkan delapan bait dali-dalil untuk lughot Arab.
Imam
ibnu malik memiliki banyak guru,diantaranya yaitu imam ibnu Mu’thi, imam ibnu
Yais (muallif kitab syarh Mufasshol), tsabit bin khiyar,ibnu hajib dan Abu Ali
Asy Syalubin. Walaupun beliau memilliki segudang ilmu, tetapi anehnya sedikit
sekali
beliau
mendapatkan kesempatan mengajar, karena sedikit sekali orang yang mau mengambil
ilmu beliau.
Di
ceritakan suatu hari imam ibnu malik keluar dari rumah dan menuju ke Madrasah,
sesampainya didepan pintu madrasah, beliau berkata: “Adakah diantara kalian
yang ingin beljar Hadits, atau lughot Arab, atau ilmu Nahwu, Shorof, sungguh
aku mengikhlaskan diriku untuk mengajar”
Namun tidak sepatah katapun keluar dari mulut mereka,
lalu beliau berkata ; “aku telah keluar dari bahayanya menyembunyikan ilmu”.
Namun
cukuplah sebagai bukti kemuliaan dan ketinggian ilmu dengan hadirnya
orang-orang yang mau belajar kepada beliau. Sebagian murid beliau adalah imam
Abu Zakariya Muhyiddin An Nawawi, yang lebih dikenal dengan sebutan imam An
Nawawi, seorang imam ilmu Fiqh, yang memiliki banyak karangan kitab, imam ibnu
Nuhas, ibnu Aththor, ibnu Abul Fath dan putra beliau sendir yang bernama
Badruddin yang semuanya menjadi ulama besar, seperti yang diucapkan beliau
dalam bait Alfiyyah, “ WAROJULUN MINAL KIROMI INDANA”.
KEISTIMEWAAN DAN KEUTAMAANNYA
Beliau
adalah kepala Madrasah Ad-diniyyah di Damaskus, sedang qodhil qudhot (Mahkamah
Agung) dan Muftinya (ahli fatwa) saat
itu adalah ibnu kholkan, seorang ulama ahli sejarah. Ibnu kholkan selalu sholat
dibelakang imam ibnu malik, dan selalu memegang tangannya diantarkan sampai
rumahnya, kemudian ia kembali kerumahnya sendiri, semua di lakukan karena
mengagungkan derajat imam ibnu malik.
Sebagian
dari sifat wirai beliau adalah, beliau tidak pernah membaca ilmu dalam keadaan
hadats, dan apabila beliau membacakan ilmu pada muridnya, punggungnya menghadap
muridnya dan beliau menghadap kearah kiblat, semua itu beliau lakukan karena
mengikuti gurunya, yaitu imam ibnu Hajib.
Termasuk
kewiraian dan ketekunan beliau adalah, pada suatu hari beliau keluar bersama
sekelompok pelajar, ketika mereka sampai pada tempat yang dituju dan bermaksud
melakukan pembahasan dan dialog, ternyata mereka tidak menemukan imam ibnu
malik, ternyata setelah dicari beliau menyendiri sambil mengamati dedaunan
untuk melakukan penelitian.
KITAB-KITAB KARANGAN IMAM IBNU MALIK
Beliau memiliki banyak karangan, diantaranya;
1.KITAB ALFIYYAH, yang juga dinamakan AL-KHUASHOH
2.KITAB AL-KAFIYAH dan syarahnya
3.KITAB KAMALUL UMDAH dan syarahnya
4.KITAB LAMIYATUL AF’AL
5.KITAB TASHIL dan syarahnya
6.KITAB Al-‘ALAM
7.KITAB Al-TAUDHIH
8.KITAB Al_QOSIDAH Ath-THOIYYAH
9.KITAB TASHILUL FAWAID
karya beliau yang sangat terkenal digunakan diseluruh
dunia, dicintai para pelajar dan para ulama’ adalah kitab alfiyyah.
KISAH SINGKAT IMAM IBNU MALIK MENGARANG KITAB ALFIYYAH
Imam
ibnu malik sewaktu mengarang nadlom alfiyyah, setelah mendapatkan seribu bait,
beliau ingin menulis kembali karyanya, namun ketika sampai pada bait;
“FAIQOTAN MINHA BI ALFI BAITIN”
(Alfiyyah ibnu malik mengungguli alfiyyah ibnu Mu’thi
dengan menggunakan seribu bait) beliau tidak mampu meneruskan karangannya dalam
beberapa hari, kemudian beliau bermimpi dalam tidurnya bertemu seseorang, dan
orang itu bertanya; “katanya kamu mengarang seribu bait yang menerangkan ilmu
nahwu” imam ibnu malik menjawab; “iya” orang itu lalu bertanya; “ sampai dimana
karanganmu?” lalu dijawab; ”sampai pada bait…FAIQOTAN MINHA BIALFI BAITIN”
“Apa yang menyebabkan kamu tercegah
menyempurnakan bait itu?” lalu dijawab;
“saya tidak mampu meneruskan sejak beberapa hari” lalu ditanya;”apakah kamu
ingin menyempurnakannya?” dijawab “iya” lalu orang itu berkata; “orang yang
masih hidup mampu mengalahkan seribu orang yang mati”
Ibnu malik berkata;” apakah kau ini guruku?, imam ibnu
mu’thi?” lalu dijawab “iya” kemudian imam ibnu malik merasa malu,dan paginya
mengganti separuh bait tersebut dengan bait;
وَهْوَ بِسَبْقِ حَائِزٌ تفضِيْلَا #
مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اْلجَمِيْلَا
(ibnu mu’thi
memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang memprakarsainya,dan
sepantasnyalah pujian baikku untuknya)
Setelah itu imam
ibnu malik mampu menyelesaikan kembali karangannya hingga sempurna.
BAIT BAIT AL-FIYYAH
() وهْوَ بِسَبْق حَائِزٌ تَفْضِيْلَا # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اٌلجَمِيْلَا
() وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَاتِ وَافِرَة # لِي
وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الٌاَخِرَة
(6) ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah
yang memprakarsainya, dan sudah sepantasnyalah pujian baikku untuknya.
(7) Semoga Allah
memastikan pahala yang berlimpah bagiku dan baginya, yaitu kedudukan yang
tinggi di akhirat nanti.
Ma’na tafsiri:
Kelompok yang
besar itu hendaklah mempunyai keutamaan / keistimewaan (تَفْضِيْلَا)
dan pengabulan (مُسْتَوْجِبٌ) yaitu memberikan haq terhadap orang-orang yang memujinya
dengan baik (ثَنَائِي
اٌلجَمِيٌلَا)
(وَاللهُ يَقٌضِي)
Allah memberikan aku dan mereka derajat
(بِهِبَاتِ وَافِرَة) yaitu berupa ni’mat yang sempurna di akhirat.
() كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ
كَاسْتَقِمْ # وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفُ اْلكَلِمْ
(8) kalam menurut
istilah para ahli nahwu (nahwiyyin) ialah lafadl yang bermakna lengkap seperti
lafadl “اسْتَقِمْ” (luruslah kamu). Sedangkan isim,fi’il dan huruf ,itu kalim
namanya.
Ma’na tafsiri:
Bait ini
memberikan penjelasan tentang perintah kepada kita agar selalu untuk
beristiqomah (اسْتَقِمْ).
() وَكُلُّ حَرْفِ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَا #
وَاْلأَصْلُ فِي اْلمَبْنِيِّ أَن يُسَكَّنَا
(21) semua huruf
berhak untuk di mabnikan, dan bentuk asal mabni adalah sukun
Ma’na tafsiri:
Setiap sesuatu
(كُلُّ حَرْفِ) itu butuh kepada
suatu pembinaan (اَلْبِنَا) dan sifat yang
paling baik dalam membina adalah
ketenangan (اَنْ
يُسَكَّنَا).
()
فَارْفَعْ بِضَمِّ وَانْصِبَنْ فَتْحَا وَجُرْ # كَسْرٌ كَذِ كْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ
()
وَجْزِمْ بِتَسْكِيْنِ وَغَيْرُ مَاذُكِرْ # يَنُوْبُ نَحْوُ جَا أَخُو نَمِرْ
(25) rofa’kanlah
dengan harokat dlommah, dan nasobkanlah dengan harokat fathah, serta jerkanlah
dengan harokat kasroh seperti dalam lafadz ذِكْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ) )
(26) jazmkanlah dengan sukun, dan selain yang
telah disebutkan ada penggantinya seperti lafadl جَا أَخُو نَمِر
Ma’na tafsiri :
1.
Ustadz Luqman berpendapat bahwa di
dalam bait ini menjelaskan tentang hubungan hidup berumah tangga.
Didalam hubungan
sebuah pernikahan/berumah tangga haruslah memperhatikan poin-poin di bawah ini:
1.
(فَارْفَعْ)
junjunglah sebuah kekompakan (بِضَمِّ) diantara suami istri
2.
(وَانْصِبَنْ فَتْحَا) dan tegakkan keterbukaan diantara suami istri
3.
(وَجُرْ)
tarik dan buanglah sebuah permasalahan yang menjadikan perpecahan (كَسْرٌ)
didalam berumah tangga
4.
(كَذِ كْرُاللهِ)
dan hendaklah selalu berdoa kepada Allah SWT
5.
(وَجْزِمْ)
dan mantapkan, yaitu dengan berpendirian teguh (بِتَسْكِيْنِ)
serta istiqomah
2.
ma’na tafsiran yang lain
1.
( فَارْفَعْ) angkatlah agama islam dengan sebuah persatuan (بِضَمِّ)
2.
(وَانْصِبَنْ فَتْحَا) bersungguh-sungguhlah dalam menjaga hafalan
3.
(وَجُرْ كَسْرٌ)
dan perkara yang ditakuti adalah sebuah perpecahan
Rahasia pembagian
I’rob:
Seperti yang sudah
kita ketahui bahwa i’rob terbagi menjadi empat macam, yaitu rafa’,
nashab,khafad, dan jazm.
Tapi tahukah kamu
bahwa Perubahan yang terjadi pada i’rob itu juga sama seperti perubahan yang
terjadi pada seseorang. yaitu ada empat macam;
1.
Rafa’, yaitu tingginya derajat,
kemuliaan dan kedudukan disisi Allah Ta’ala.
Yang mendorong
rafa’ adalah mengenal Allah; melaksanakan ketaatan kepadaNYA serta bergaul
dengan orang-orang mulia yaitu para waliyulloh rodhiyallohu ‘anhum
2.
Kebalikan dari rafa’ adalah khafadh,
yaitu kerendahan dan kehinaan.
Yang mendorong
khafadh adalah kebodohan; terus menerus mengikuti gejolak hawa nafsu.
3.
Nashab, yaitu ketegaran diri dalam mengikuti arus
perjalanan takdir . inilah maqam ridlo dan pasrah. Ini merupakan maqam para
‘arif yang mencapai wushul.
4.
Jazm, yaitu kemantapan dan keteguhan
hati untuk meniti perjalanan, memerangi
hawa nafsu, dan menanggung penderitaan dalam perjuangan menuju wushul, hingga
mencapai kesempurn-aan musyahadah
() لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّنَا صَلَحْ #
كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَحْ
(57) dlomir naa tetap akan terus
dibaca naa meskipun berada dalam keadaan rofa’,nashob,dan jar, seperti lafadl كاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا
اْلمِنَاح “ketahuilah, sesungguhnya kita
telah memperoleh anugerah yang banyak”
Ma’na tafsiri:
1.
Ustadz luqman berpendapat bahwa
ma’na yang terkandung didalam bait ini adalah menunjukkan sebuah perbuatan yang
bersifat tetap dan continue seperti dlomir (نَا)
jika kita sedang dalam keadaan yang tinggi/agung (رفع)
atau tengah-tengah (النَّصْبِ) atau dibawah (جَرِّ) janganlah
berubah dari aktifitas kita sehari-hari seperti aktifitas sebelum kita berada
dibawah atau diatas.
2.
Di dalam bait ini mengajarkan kita
agar kita bisa menjadi seperti dlomir na (نَا)
yaitu teguh dalam berpendirian meskipun banyak dimasuki oleh pemikiran-pemikiran atau aliran-aliran baru
() وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُتَّصِلْ #
إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئُ اْلمُتَّصِلْ
(63) dalam keadaan
ikhtiyar (tidak kepepet) tidak boleh mendatangkan dlomir munfasil, selagi masih
diperbolehkan mendatangkan dlomir muttashil
Ma’na tafsiri:Bait ini
menjelaskan kita dianjurkan agar tidak minta bantuan kepada selain Allah selama
kita tidak kepepet dan masih bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan benda
atau orang lain.
()
وَقَدِّمِ اْلأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ
# وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي
انْفِصَالِ
(66) dahulukanlah yang
khusus dalam muttashil, dan dahulukanlah yang anda sukai dalam keadaan
munfashil
Ma’na tafsiri:Dahulukanlah
orang yang lebih khusus/ istimewa bagimu, daripada orang-orang yang istimewa
tapi tidak kamu ketahui. Dalam kata lain, dahulukan kekasihmu daripada orang
lain yang tidak kamu kenali.
()
وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا بِالنَّكِرَةِ #
مَالَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدِ نَمِرَةِ
(125) tidak di perbolehkan membuat
mubtada’ dengan memakai isim yang nakiroh,selagi tidak memberi faedah, seperti
pada lafad
عِنْدَ زَيْدِ نَمِرَة
Ma’na tafsiri:Al mubtada’
diumpamakan sebagai seorang pimpinan yang ma’rifat (mengetahui), dan wajib bagi
dia menjelaskan perkara yang menyenangkan,berilmu,dan punya kekuasaan, dan bisa
dimintai pertolongan. Dan tidak boleh mubtada’ (pemimpin) itu terbentuk dari
isim yang nakiroh (ghoiru ma’ruf/ bodoh)
()
وَأَخْبَرٌوا بِاثْنَيْنِ اَوْ بِأَكْثَرَ
# عَنْ وَاحِدِ كَهُمْ سَرَاةٌ
شُعَرَا
(142) para ahli
nahwu memperbolehkan satu mubtada’ mempunyai dua khobar atau lebih
Ma’na tafsiri; Seperti halnya yang sudah kita
ketahui bahwa setiap mubtada’ hanya mempunyai satu khobar, tapi juga di
perbolehkan mubtada’ itu mempunyai lebih dari satu khobar seperti contoh زَيْدٌ قَائِمٌ ضَاحِاكٌ
Nah…المبتداء
pada bait ini di seumpamakan dengan seorang laki-laki /suami.sedangkan خبر
di seumpamakan seoranng istri. Jadi di
dalam bait ini juga menjelaskan, bahwa pada umumnya laki-laki hanya punya satu
orang istri,tapi juga boleh mubtada’(suami) mempunyai khobar (istri) lebih dari
satu
() لَا أَقْعُدُ اْلجُبْنَ عَنِ اْلهَيْجَاءِ #
وَلَوْ تَوَالَتْ زُمَرُ اٌلأَعْدَاءِ
(302) aku tidak
akan bertopang dagu meninggalkan perang karena pengecut, sekalipun golongan
musuh datang berbondong-bondong
Ma’na tafsiri: Bait ini juga bisa dibuat sebagai
dalil larangan pergi meninggalkan perang karena takut kepada musuh,meskipun
barisan musuh lebih banyak.
()
وَمَا يَلِي اْلمُضَافَ يَأْتِيِ خَلَفَا
# عَنْهُ فِي اْلإِعْرَابِ إِذَا
مَا حُذِفَ
(413) lafadz yang
mengiringi mudhof dapat menggantikan kedudukan mudhof dalam I’rob apabila
mudhof di buang
Ma’na tafsiri: Jika mudlof
terbuang maka tempatkanlah mudlof ilaih pada tempatnya mudlof. Bait ini
menggambarkan hubungan antara kyai dan santri. Jika kamu seorang santri, maka
jadilah kamu seperti seorang santri. Jangan sok-sokan berlagak layaknya kyai.
Tapi jika kamu telah menjadi seorang kyai pada waktunya, maka wajib bagimu
melakukan trtadisi atau perbuatan yang dilakukan oleh kyaimu dulu.
()
فَأَلِّفُ التَّأْنِيْسِ مُطْلَقَا مَنَعْ
# صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ
كَيْفَمَا وَقَعْ
(650) alif ta’nits
secara muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim yang mengandunginya, manakala
memasukinya
Ma’na tafsiri:(أَلِّفُ)
cinta seorang laki-laki kepada perempuan (التَّأْنِيْسِ)
itu tercegah dengan mutlaq (مُطْلَقَا
مَنَعْ) karena cinta tersebut bisa
Mencegah dari
kesuksesan angan-angan.
0 comments:
Post a Comment