FILOSOFI AL-FIYYAH IBNU MALIK

 

Sejarah Dan Penamaan Ilmu Nahwu

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi. Lalu, bagaimana sejarah awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu ?. Simak penjelasan berikut ini.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.
 Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib r.a
Ketika Abul Aswad Ad-Duali sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak menengadahkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang.Lalu ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrohkan hamzah, yaitu menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya ?”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…
Abul Aswad Ad-Duali ketika melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan tata Bahasa Arab ini menghilang, padahal peristiwa tersebut terjadi pada zaman Sahabat Nabi s.a.w.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka memperbaharui pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah singkat awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah).

Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut.
 Hal ini mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat.
 Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut: aliran (madrasah) Al-Basrah, Kufah, Baghdad, Andalus dan Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah.

Aliran (Madrasah) Basrah.

Aliran (Madrasah) ini berkembang pesat hingga terkenal di kalangan para ulama nahwu (Nahwiyyiin), dikarenakan begitu semangat dan gigihnya para pelajar (tholib) dalam mempelajari ilmu nahwu yang langsung diajar oleh penyusun kitab nahwu pertama kali, Abu Aswad ad-Dhuali.
 Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami ilmu nahwu adalah ketika Negeri Basrah telah bercampur penduduknya antara pribumi (baca; warga Basrah) dengan non pribumi (azam) yang hidup layaknya seperti penduduk asli.
 Bahasa arab merupakan bahasa resmi negara pada waktu itu, namun karena adanya percampuran non pribumi dalam negeri itu yang secara otomatis mengakibatkan adanya kerusakan dalam susunan tata bahasa arab. Imam Sibawaihi merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku nahwu yang berjudul "al-Kitab".
 Diantara ciri khas aliran (madrasah) Basrah adalah selalu berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur yang  mereka takwilkan  atau menggolongkannya sebagai kelompok yang ganjil (syadz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan sima'i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab.
Aliran (Madrasah) Kufah.
Negeri Kufah terkenal sebagai Negerinya para Muhadditsin, Penyair dan Qira ah. Sehingga terdapat di dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira ah seperti kisai, Ashim Bin Abi Al-Nujud dan Hamzah. Kisaai termasuk pendiri aliran (Madrasah) Kufah. Penadapatnya terhadap suatu masalah dalam gramatikal bahasa arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya maupun yang lainnya.
 Ciri khas aliran (madrsah) ini, lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa  arab. Jadi, begitu indahnya bahasa arab memiliki pemerhati bahasa yang mampu menjaga estetika bahasa itu sendiri. Bagaimana dengan bahasa Indonesia?, akankah tetap memiliki estetika bahasa yang tinggi?

Sejarah Singkat Alfiyyah Ibnu Malik

Alfiyyah Ibnu Malik demikian populer dan melegenda. Kitab ini di kenal dibelahan dunia, baik daratan timur maupun barat. Di barat, “The Thousand Verses” nama lain dari kitab Alfiyyah Ibnu Malik.
Alfiyyah ibnu Malik dijadikan panduan utama di bidang kajian linguistikArab.
Di Indonesia, Alfiyyah Ibnu Malik juga di kaji diberbagai daerah. Pesantren-pesantren yang tersebar diwilayah Nusantara hampir tidak ada yang menyingkirkan peranan kitab ini. Termasuk di pondok pesantren tambak beras, khususnya madrasah mu’allimin mu’allimat Bahrul Ulum. Semua pesantren menempatkan Alfiyah Ibnu Malik sebagai rujukan utama. Ia menjadi kitab yang paling dominan dalam study gramatika-mortofologi Arab.
Besarnya peranan Alfiyyah Ibnu Malik tampaknya menjadi titik puncak bagi harapan si pengarang. Ibnu Malik pernah mengungkapkan melalui satu bait dalam nadzomnya; “Waqad yanubu ‘anhu ma ‘alaihi dal kajidda kullal jiddi wafrokhil jadal”. Nadzom ini seolah-olah mengisyaratkan keinginan Ibnu Malik bahwa Alfiyyah yang benar-benar telah menggantikan perannya munjukkan seperti sebuah langkah penuh keseriusan dan kebahagiaan yang tiada tara.            
Harapan akan manfaat kitab Alfiyyah Ibnu Malik bagi dinamika ilmu keislaman juga pernah diungkapkannya melalui salah satu bait dalam nadzomnya; “Wallahu Yaqdhi bihibatin waafiroh li walahu fi darojatil akhiroh”. Semoga dengan ampunan yang sempurna, Allah memberikan aku
Dan dia (IbnuMu’thi guru imam sibawaih) sebuah draja tyang tinggi diakhirat.

            Peran penting Alfiyyah Ibnu Malik tidak hanya di tuntunjukkan oleh geliatnya yang tinggi di Andalusia, melainkan juga pengaruhnya bagi pembentukan karakteristik dan corak keilmuan lainnya. Misal, tafsir al-Makki Ibn Abi Tholib al-qaysi, atau Tafsir al-Muharrar al-Wajiz karangan Ibnu ‘Athiyyah. Tafsir-tasir karangan ulama Andalusia itu ternyata banyak dipengaruhi oleh mencuatnya Alfiyyah Ibnu Malik di daratan tersebut. Ini ditandai dengan cara penafsiran Al Qur’an dengan menggunakan pendekatan Nahwu- Shorof.
Tidak hanya itu. Alfiyah Ibnu Malik sebagai pusat perhatian dunia dalam konteks keilmuan gramatika-mortofologi Arab juga di buktikan dengan munculnya kitab-kitab kembangan,seperti kitab Audhah al-Masalik, Taudhih al-Maqa’shid, Manhaj as-Salik, Al-Maqashid as-Syafi’iyyah, syarakh Abu Zayd al-Makudi dan lain-lain adalah kitab reproduksi Alfiyyah Ibnu Malik.
Kitab-kitab tersebut merupakan penjelasan secara detail tentang nadzom-nadzom Alfiyah, baik dikemas dengan model Syarah maupun Hasyiyah
Secara umum,materi yang dicakup oleh kitab ini ialah:
   a. Kalam (kalimat) dalam bahasa Arab
   b. Kata-kata yang mu‘rab dan mabni
   c. Kata nakirah (umum) dan ma‘rifah (khusus)
   d. Kata nama (‘alam), kata tunjuk (isyârah), kata-sambung sifat (maushûl)
   e. Pokok kalimat (ibtida’) dan persoalannya.
   f.  Fi‘il (kata kerja) atau huruf (partikel) yang merusak susunan-lazim kalimat, seperti kâna dan semisalnya, laisa (penegasian) dan beberapa huruf yang serupa dengannya, inna dan semisalnya, serta zhanna dan semisalnya (beberapa kata kerja abstrak).
   g. Penegasian mutlak kata “lâ”.
   h. Fi‘il (kata kerja) yang memiliki dua hingga tiga objek (maf‘ûl).
   i.  Fa’il (kata pelaku) dan Naib al-Fa’il (pengganti pelaku).
   j. Isytighâl ‘âmil (kesibukan kata kerja terhadap dua pelaku [ma‘mûl] atau lebih).
   k. Fi‘il muta‘addî (transitif) dan lâzim (intransitive).
   l. Tanâzu‘ fi al-‘amal (perebutan dalam amal).
   m. Mafâ‘îl (beberapa maf‘ûl), seperti maf‘ûl bih (objek langsung) yang dipengaruhi oleh fi‘il, mashdar, isim fa‘il, isim maf‘ûl, shighah mubâlaghah, fi‘il ta‘ajjub, isim fi‘il, dan sifat yang serupa dengan isim fa‘il; maf‘ûl mutlak, maf‘ûl li ajlih, maf‘ûl fîh, dan maf‘ûl ma‘ah.
   n. Maf‘ûl (objek) yang kata kerjanya (amil) dibuang, seperti tahdzîr (peringatan), ighrâ (imbauan), ikhtishâsh (pengkhushusan—biasanya berupa sisipan dalam kalimat), isytighâl (kesibukan kata kerja untuk dua objek/maf‘ul), dan nida (panggilan)—termasuk di dalamnya: istighatsah (ungkapan minta tolong), nudbah (ungkapan keterkejutan atau kesakitan), dan membuang huruf akhir nama orang yang dimintai tolong.
   o. Hâl (sifat bagi pelaku), tamyîz (keterangan tentang jenis, ukuran, berat, atau jumlah suatu benda), istitsnâ’ (ungkapan negasi).
   p. Tawâbi‘ (pelengkap kata atau kalimat), seperti na‘at (sifat untuk kata benda), taukîd (penguatan/penegasan suatu kata: benda, kerja, partikel), ‘athaf (penyambungan dua kata atau lebih melalui kata sambung), dan badal (penggantian kata dengan kata sesudahnya yang berhubungan).
   q. Majrûrât (huruf-huruf yang menyebabkan kata benda dibaca jar/kasrah), idhafah (penyandaran suatu kata dengan kata yang lain), dan isim yang tidak menerima tanwin.
   r. Kata kerja pujian dan celaan (ni‘ma, bi’sa dan sejenisnya).
   s. Isim-isim yang serupa dengan fi‘il dan yang menunjukkan suara hewan.
   t. Nun taukid, fi‘il yang mu‘rab, amil-amil jazm (indikator fi‘il mu‘rab), dan susunan kalimat pengandaian (seperti lau—termasuk ammâ, laula, dan laumâ).
   u. Pembentukan kata jamak, baik yang beraturan maupun tidak beraturan, seperti jamak taksir yang tidak bisa dianalogikan bentuknya.
   v. Bilangan dan takaran, serta ungkapan narasi.
   w.Perubahan bentuk kata seperti tashghir (pengecilan) dan nisbah (penggolongan).
   x. Kaidah-kaidah bacaan dalam kalimat seperti waqf (membaca sukun) pada huruf terakhir dan imâlah (bacaan antara “a” dan “i”), kaidah penulisan hamzah washal (tersambung), dan beberapa kaidah morfologi Arab seperti
ibdal, idghom dan sebagainya.
           Meski hanya memuat 1002 nazhom atau sekitar 100-an halaman dengan ukuran buku saku, muatan kajian Alfiah sangatlah mendalam. Hal itu karena setiap nazhom Alfiah mengandung bahasan yang syâmil (mencakup) dan jâmi‘ (menghimpun). Misalnya, definisi kalam dalam Alfiyah diungkapkan dengan lafzh mufîd (kata yang memberikan makna/pemahaman). Padahal, dalam definisi lain tentang kalam, sebuah kalimat bahasa Arab haruslah murakkab (tersusun dari beberapa kata), musnad (memilik pangkal kata), mufid (memberi makna), dan wadha‘ (sengaja diucapkan). Dari sini, tampak bahwa definisi kalam dalam Alfiyah tersebut lebih ringkas-padat sekaligus mencakup dan menghimpun definisi kalam dalam kitab lain.
             Selanjutnya, penjelasan-penjelasan kaidah Alfiyah juga sangat padat makna. Inilah sebabnya Kitab Alfiyah ini memiliki banyak syarah (penjelasan makna dan maksudnya). Bahkan, ada syarah Kitab Alfiyah yakni Syarah Ibn ‘Aqil yang kemudian disyarahi oleh kitab lain yang lebih tebal (sekitar dua jilid dengan ketebalan 1200-an halaman), yaitu Syarah Ibn ‘Aqil li Qadhil Al-Qudhat Abu Al-Hasan.
               Patut dikemukakan bahwa pengajaran Kitab Alfiyah di pesantren-pesantren Indonesia saat ini banyak menggunakan metode hafalan. Artinya, para santri (pelajar) menghafalkan kaidah-kaidah nahwu dan sharaf tersebut secara individual lalu Mu‘allim atau Ustad menguji hafalan mereka di depan kelas, bahkan kemudian ditampilkan dalam sebuah perayaan yang menunjukkan keberhasilan santri dalam mempelajari kitab tersebut. Perayaan ini menunjukkan keistimewaan Alfiyah dibandingkan dengan daras-daras lain—seperti tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan sebagainya yang memang tidak diajarkan dengan metode hafalan.
                Kelebihan mengkaji Ilmu Nahwu-Shorof khususnya alfiyah dibandingkan dengan ilmu fiqh dan lainnya adalah ketetapan qoidahnya. qoidah  Nahwu-Shorof merupakan ilmu yang paten/pasti yaitu qoidahnya tidak akan pernah berubah ila akhirizzaman.sedangkan didalam ilmu fiqh akan selalu terus berkembang  mengikuti zaman, seiring muncul dan berkembangnya suatu masalah. Begitu banyak orang yang cenderung mengkaji alfiyyah, sampai-sampai Ibnu Malik sebagai pengarangnya dinobatkan sebagai Taj ‘ulama an-Nuhaat (Mahkota Ilmu Nahwu).
                pada zaman dulu tidak sedikit para kyai di Indonesia yang menghafal seribu bait alfiyah, bahkan sangking cintanya beliau-beliau kepada alfiyah ini sampai-sampai bait yang ada di dalam alfiyah ini beliau  jadikan sebagai dalil dari Ilmu fiqh, tasawuf dll.seperti halnya yang di lakukan oleh saikhona kholil bin abdul latif bangkalan. Tatkala  beliau sedang  makan bersama para kyai-kyai, beliau tidak mau makan memakai sendok,tapi langsung menggunakan jari tangannya. Ketika beliau ditanya oleh salah seorang kyai tentang kenapa beliau tidak makan menggunakan sendok?, sontak beliau menjawab dengan dalil yang ada di dalam bait alfiyah yang berbunyi:
          وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُتَّصِلْ  #  إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئُ اْلمُتَّصِلْ
yang maksud dari bait itu adalah selama dalam keadaan tidak kepepet, tidak boleh menggunakan dlomir munfasil (pisah) selagi masih bisa menggunakan dlomir muttasil (sambung). Di sini kyai kholil mengibaratkan tangan sebagai dlomir muttasil  yang sambung dengan jasad kita. Dan sendok di ibaratkan sebagai dlomir munfasil. jadi selama tangan kita masih bisa digunakan,maka tidak perlulah kita menggunakan alat (sendok dsb) selama kita tidak terlalu membutuhkan.
               Tapi yang terjadi sekarang adalah kebanyakan santri pada zaman sekarang  mengenal kitab alfiyah hanya sekedar kitab nadzom yang tak lebih hanya menerangkan tentang kaidah-kaidah bahasa arab saja.tanpa mempedulikan latar belakang dan nama asli sang pengarang tersebut. Maka dari itulah kami akan mengulas sedikit dari latar belakang dan nama beliau Insya allah.
BIOGRAFI SINGKAT SYAIKH IBNU MALIK
(Pengarang kitab Alfiyyah)
                 Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Abdillah ibn Malik al-Thay, lahir pada tahun 600 H. di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol).
                 Ibnu malik juga mendapatkan nama laqob (julukan) Jamaluddin dan nama kunyah Abu Abdulloh,Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah.
              Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaibuni (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus.
                 Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w.643H). Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu.
               Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Kholkan. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan.
            Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik dan lebih indah dari pada karangan-karangan para tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait. Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait.
               Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz (nama salah satu jenis irama lagu dalam melagukan syair arab) ini disusun dengan maksud:
(1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting.
(2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.
(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya.
               Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior.
                Dalam Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas. Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibnu Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik.
                 Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metode baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah itu.
                 Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah.
            Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibnu Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama.
Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz. Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibnu Jama’ah,dalam redeaksi lain Ibnu Kholkan (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi(w.994H),Dan Qadli Taqiyuddin ibnu Abdul qadir al-Tamimiy (w.1005H).
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibnu Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi.
              Ibnu Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah .Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).
                 Adapun Ibnu Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
                 Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibnu Malik, Al-Muradi, Ibnu Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibnu Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.
                 Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu:
(a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni.
(b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca.
(c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
MASA MENCARI ILMU DAN MENGAJARKANNYA.
                 Di kota Aljayyan(salah satu kota di Spanyol)  ini beliau dilahirkan dan dibesarkan serta menimba dasar-dasar ilmu agama, untuk meningkatkan ilmu dan wawasannya, imam ibnu malik pindah ketanah Halb. Dikota inilah beliau belajar tentang ilmu-ilmu lughot Arab,madzhab dan lain-lain,beliau memang seorang pemburu ilmu. beliau kemudian pindah ketanah Damaskus, ibukota Syiria, di kota ini beliau mendapatkan banyak ilmu,baik lughot Arab,Fiqh,Hadits,Tafsir,dan ilmu lainnya. Beliau yang asalnya bermadzhab Malikiyah setelah belajar lama di kota Damaskus akhirnya berpindah madzhab Syafi’iyah. Berkat ketekunan beliau, akhirnya beliau menjadi seorang yang terkenal dalam bidang lughot Arab,Nahwu,Shorof,Hadits,dan tafsir.
                 Imam ibnu malik mengajarkan ilmu nahwu dan shorof pada para ulama’ mutaqoddimin, beliau adalah seorang ulama’ ahli dalam bidang hafalan, beliau termasuk orang yang hafal Qiro’ah-qiro’ah Al-qur’an beserta alasannya,hafal tafsir dan hadits. Beliau sungguh pecinta ilmu, ini terbukti pada suatu hari menjelang wafatnya, beliau masih sempat menghafalkan delapan bait dali-dalil untuk lughot Arab.
                 Imam ibnu malik memiliki banyak guru,diantaranya yaitu imam ibnu Mu’thi, imam ibnu Yais (muallif kitab syarh Mufasshol), tsabit bin khiyar,ibnu hajib dan Abu Ali Asy Syalubin. Walaupun beliau memilliki segudang ilmu, tetapi anehnya sedikit sekali
                 beliau mendapatkan kesempatan mengajar, karena sedikit sekali orang yang mau mengambil ilmu beliau.
                 Di ceritakan suatu hari imam ibnu malik keluar dari rumah dan menuju ke Madrasah, sesampainya didepan pintu madrasah, beliau berkata: “Adakah diantara kalian yang ingin beljar Hadits, atau lughot Arab, atau ilmu Nahwu, Shorof, sungguh aku mengikhlaskan diriku untuk mengajar”
Namun tidak sepatah katapun keluar dari mulut mereka, lalu beliau berkata ; “aku telah keluar dari bahayanya menyembunyikan ilmu”.
                 Namun cukuplah sebagai bukti kemuliaan dan ketinggian ilmu dengan hadirnya orang-orang yang mau belajar kepada beliau. Sebagian murid beliau adalah imam Abu Zakariya Muhyiddin An Nawawi, yang lebih dikenal dengan sebutan imam An Nawawi, seorang imam ilmu Fiqh, yang memiliki banyak karangan kitab, imam ibnu Nuhas, ibnu Aththor, ibnu Abul Fath dan putra beliau sendir yang bernama Badruddin yang semuanya menjadi ulama besar, seperti yang diucapkan beliau dalam bait Alfiyyah, “ WAROJULUN MINAL KIROMI INDANA”.
KEISTIMEWAAN DAN KEUTAMAANNYA
                 Beliau adalah kepala Madrasah Ad-diniyyah di Damaskus, sedang qodhil qudhot (Mahkamah Agung) dan Muftinya (ahli fatwa)  saat itu adalah ibnu kholkan, seorang ulama ahli sejarah. Ibnu kholkan selalu sholat dibelakang imam ibnu malik, dan selalu memegang tangannya diantarkan sampai rumahnya, kemudian ia kembali kerumahnya sendiri, semua di lakukan karena mengagungkan derajat imam ibnu malik.
                 Sebagian dari sifat wirai beliau adalah, beliau tidak pernah membaca ilmu dalam keadaan hadats, dan apabila beliau membacakan ilmu pada muridnya, punggungnya menghadap muridnya dan beliau menghadap kearah kiblat, semua itu beliau lakukan karena mengikuti gurunya, yaitu imam ibnu Hajib.
                 Termasuk kewiraian dan ketekunan beliau adalah, pada suatu hari beliau keluar bersama sekelompok pelajar, ketika mereka sampai pada tempat yang dituju dan bermaksud melakukan pembahasan dan dialog, ternyata mereka tidak menemukan imam ibnu malik, ternyata setelah dicari beliau menyendiri sambil mengamati dedaunan untuk melakukan penelitian.
KITAB-KITAB KARANGAN IMAM IBNU MALIK
                 Beliau memiliki banyak karangan, diantaranya;
1.KITAB ALFIYYAH, yang juga dinamakan AL-KHUASHOH
2.KITAB AL-KAFIYAH dan syarahnya
3.KITAB KAMALUL UMDAH dan syarahnya
4.KITAB LAMIYATUL AF’AL
5.KITAB TASHIL dan syarahnya
6.KITAB Al-‘ALAM
7.KITAB Al-TAUDHIH
8.KITAB Al_QOSIDAH Ath-THOIYYAH
9.KITAB TASHILUL FAWAID
karya beliau yang sangat terkenal digunakan diseluruh dunia, dicintai para pelajar dan para ulama’ adalah kitab alfiyyah.
KISAH SINGKAT IMAM IBNU MALIK MENGARANG KITAB ALFIYYAH
                 Imam ibnu malik sewaktu mengarang nadlom alfiyyah, setelah mendapatkan seribu bait, beliau ingin menulis kembali karyanya, namun ketika sampai pada bait;
“FAIQOTAN MINHA BI ALFI BAITIN”
(Alfiyyah ibnu malik mengungguli alfiyyah ibnu Mu’thi dengan menggunakan seribu bait) beliau tidak mampu meneruskan karangannya dalam beberapa hari, kemudian beliau bermimpi dalam tidurnya bertemu seseorang, dan orang itu bertanya; “katanya kamu mengarang seribu bait yang menerangkan ilmu nahwu” imam ibnu malik menjawab; “iya” orang itu lalu bertanya; “ sampai dimana karanganmu?” lalu dijawab; ”sampai pada bait…FAIQOTAN MINHA BIALFI BAITIN”
“Apa yang menyebabkan kamu tercegah menyempurnakan  bait itu?” lalu dijawab; “saya tidak mampu meneruskan sejak beberapa hari” lalu ditanya;”apakah kamu ingin menyempurnakannya?” dijawab “iya” lalu orang itu berkata; “orang yang masih hidup mampu mengalahkan seribu orang yang mati”
Ibnu malik berkata;” apakah kau ini guruku?, imam ibnu mu’thi?” lalu dijawab “iya” kemudian imam ibnu malik merasa malu,dan paginya mengganti separuh bait tersebut dengan bait;
                 وَهْوَ بِسَبْقِ حَائِزٌ تفضِيْلَا  #  مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اْلجَمِيْلَا
(ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang memprakarsainya,dan sepantasnyalah pujian baikku untuknya)
Setelah itu imam ibnu malik mampu menyelesaikan kembali karangannya hingga sempurna.

  BAIT BAIT AL-FIYYAH

()  وهْوَ بِسَبْق حَائِزٌ تَفْضِيْلَا #  مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ اٌلجَمِيْلَا
()   وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَاتِ وَافِرَة # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الٌاَخِرَة
(6) ibnu mu’thi memperoleh kedudukan utama, karena beliaulah yang memprakarsainya, dan sudah sepantasnyalah pujian baikku untuknya.
(7) Semoga Allah memastikan pahala yang berlimpah bagiku dan baginya, yaitu kedudukan yang tinggi di akhirat nanti.
Ma’na tafsiri:
Kelompok yang besar itu hendaklah mempunyai keutamaan / keistimewaan (تَفْضِيْلَا) dan pengabulan (مُسْتَوْجِبٌ) yaitu memberikan haq terhadap orang-orang yang memujinya dengan baik (ثَنَائِي اٌلجَمِيٌلَا)
(وَاللهُ يَقٌضِي) Allah memberikan aku dan mereka derajat
 (بِهِبَاتِ وَافِرَة) yaitu berupa ni’mat yang sempurna di akhirat.
() كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ كَاسْتَقِمْ # وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفُ اْلكَلِمْ
(8) kalam menurut istilah para ahli nahwu (nahwiyyin) ialah lafadl yang bermakna lengkap seperti lafadl “اسْتَقِمْ” (luruslah kamu). Sedangkan isim,fi’il dan huruf ,itu kalim namanya.
Ma’na tafsiri:
Bait ini memberikan penjelasan tentang perintah kepada kita agar selalu untuk beristiqomah (اسْتَقِمْ).
()  وَكُلُّ حَرْفِ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَا  #  وَاْلأَصْلُ فِي اْلمَبْنِيِّ أَن يُسَكَّنَا
(21) semua huruf berhak untuk di mabnikan, dan bentuk asal mabni adalah sukun
Ma’na tafsiri:
  Setiap sesuatu  (كُلُّ حَرْفِ)  itu butuh kepada suatu pembinaan (اَلْبِنَا) dan sifat yang paling  baik dalam membina adalah ketenangan (اَنْ يُسَكَّنَا).
()  فَارْفَعْ بِضَمِّ وَانْصِبَنْ فَتْحَا وَجُرْ #  كَسْرٌ كَذِ كْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ
 ()  وَجْزِمْ بِتَسْكِيْنِ وَغَيْرُ مَاذُكِرْ #  يَنُوْبُ نَحْوُ جَا أَخُو نَمِرْ
(25) rofa’kanlah dengan harokat dlommah, dan nasobkanlah dengan harokat fathah, serta jerkanlah dengan harokat kasroh seperti dalam lafadz ذِكْرُاللهِ عَبْدَهُ يَسُرْ) )
 (26) jazmkanlah dengan sukun, dan selain yang telah disebutkan ada penggantinya seperti lafadl جَا أَخُو نَمِر
Ma’na tafsiri :
1.      Ustadz Luqman berpendapat bahwa di dalam bait ini menjelaskan tentang hubungan hidup berumah tangga.
Didalam hubungan sebuah pernikahan/berumah tangga haruslah memperhatikan poin-poin di bawah ini:
1.      (فَارْفَعْ) junjunglah sebuah kekompakan (بِضَمِّ) diantara suami istri
2.      (وَانْصِبَنْ فَتْحَا) dan tegakkan keterbukaan diantara suami istri
3.      (وَجُرْ) tarik dan buanglah sebuah permasalahan yang menjadikan perpecahan (كَسْرٌ) didalam berumah tangga
4.      (كَذِ كْرُاللهِ) dan hendaklah selalu berdoa kepada Allah SWT
5.      (وَجْزِمْ) dan mantapkan, yaitu dengan berpendirian teguh (بِتَسْكِيْنِ) serta istiqomah
2.       ma’na tafsiran yang lain
1.      ( فَارْفَعْ) angkatlah agama islam dengan sebuah persatuan (بِضَمِّ)
2.      (وَانْصِبَنْ فَتْحَا) bersungguh-sungguhlah dalam menjaga hafalan
3.      (وَجُرْ كَسْرٌ) dan perkara yang ditakuti adalah sebuah perpecahan
Rahasia pembagian I’rob:
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa i’rob terbagi menjadi empat macam, yaitu rafa’, nashab,khafad, dan jazm.
Tapi tahukah kamu bahwa Perubahan yang terjadi pada i’rob itu juga sama seperti perubahan yang terjadi pada seseorang. yaitu ada empat macam;
1.     Rafa’, yaitu tingginya derajat, kemuliaan dan kedudukan disisi Allah Ta’ala.
Yang mendorong rafa’ adalah mengenal Allah; melaksanakan ketaatan kepadaNYA serta bergaul dengan orang-orang mulia yaitu para waliyulloh rodhiyallohu ‘anhum
2.     Kebalikan dari rafa’ adalah khafadh, yaitu kerendahan dan kehinaan.
Yang mendorong khafadh adalah kebodohan; terus menerus mengikuti gejolak hawa nafsu.
3.     Nashab, yaitu  ketegaran diri dalam mengikuti arus perjalanan takdir . inilah maqam ridlo dan pasrah. Ini merupakan maqam para ‘arif yang mencapai wushul.
4.     Jazm, yaitu kemantapan dan keteguhan hati  untuk meniti perjalanan, memerangi hawa nafsu, dan menanggung penderitaan dalam perjuangan menuju wushul, hingga mencapai kesempurn-aan musyahadah
()  لِلرَّفْعِ وَالنَّصْبِ وَجَرِّنَا صَلَحْ  #  كَاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَحْ
(57) dlomir naa tetap akan terus dibaca naa meskipun berada dalam keadaan rofa’,nashob,dan jar, seperti lafadl كاعْرِفْ بِنَا فَإِنَّنَا نِلْنَا اْلمِنَاح “ketahuilah, sesungguhnya kita telah memperoleh anugerah yang banyak”
Ma’na tafsiri:
1.      Ustadz luqman berpendapat bahwa ma’na yang terkandung didalam bait ini adalah menunjukkan sebuah perbuatan yang bersifat tetap dan continue seperti dlomir (نَا) jika kita sedang dalam keadaan yang tinggi/agung (رفع) atau tengah-tengah (النَّصْبِ) atau dibawah (جَرِّ) janganlah berubah dari aktifitas kita sehari-hari seperti aktifitas sebelum kita berada dibawah atau diatas.
2.      Di dalam bait ini mengajarkan kita agar kita bisa menjadi seperti dlomir na (نَا) yaitu teguh dalam berpendirian meskipun banyak dimasuki oleh  pemikiran-pemikiran atau aliran-aliran  baru
() وَفِي اخْتِيَارِ لَايَجِئُ اٌلمُتَّصِلْ  #  إِذَا تَأَتَّى اَنْ يَجِئُ اْلمُتَّصِلْ
(63) dalam keadaan ikhtiyar (tidak kepepet) tidak boleh mendatangkan dlomir munfasil, selagi masih diperbolehkan mendatangkan dlomir muttashil
Ma’na tafsiri:Bait ini menjelaskan kita dianjurkan agar tidak minta bantuan kepada selain Allah selama kita tidak kepepet dan masih bisa mengerjakannya sendiri tanpa bantuan benda atau orang lain.
()  وَقَدِّمِ اْلأَخَصَّ فِي اتِّصَالِ  #  وَقَدِّ مَنْ مَا شِئْتَ فِي انْفِصَالِ
(66) dahulukanlah yang khusus dalam muttashil, dan dahulukanlah yang anda sukai dalam keadaan munfashil
Ma’na tafsiri:Dahulukanlah orang yang lebih khusus/ istimewa bagimu, daripada orang-orang yang istimewa tapi tidak kamu ketahui. Dalam kata lain, dahulukan kekasihmu daripada orang lain yang tidak kamu kenali.
()  وَلَا يَجُوْزُ اْلإِبْتِدَا بِالنَّكِرَةِ  #  مَالَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدِ نَمِرَةِ
(125) tidak di perbolehkan membuat mubtada’ dengan memakai isim yang nakiroh,selagi tidak memberi faedah, seperti pada lafad
  عِنْدَ زَيْدِ نَمِرَة
Ma’na tafsiri:Al mubtada’ diumpamakan sebagai seorang pimpinan yang ma’rifat (mengetahui), dan wajib bagi dia menjelaskan perkara yang menyenangkan,berilmu,dan punya kekuasaan, dan bisa dimintai pertolongan. Dan tidak boleh mubtada’ (pemimpin) itu terbentuk dari isim yang nakiroh (ghoiru ma’ruf/ bodoh)
()  وَأَخْبَرٌوا بِاثْنَيْنِ اَوْ بِأَكْثَرَ  #  عَنْ وَاحِدِ كَهُمْ سَرَاةٌ شُعَرَا
(142) para ahli nahwu memperbolehkan satu mubtada’ mempunyai dua khobar atau lebih
Ma’na tafsiri; Seperti halnya yang sudah kita ketahui bahwa setiap mubtada’ hanya mempunyai satu khobar, tapi juga di perbolehkan mubtada’ itu mempunyai lebih dari satu khobar seperti contoh زَيْدٌ قَائِمٌ ضَاحِاكٌ
Nah…المبتداء pada bait ini di seumpamakan dengan seorang laki-laki /suami.sedangkan خبر di seumpamakan seoranng istri.  Jadi di dalam bait ini juga menjelaskan, bahwa pada umumnya laki-laki hanya punya satu orang istri,tapi juga boleh mubtada’(suami) mempunyai khobar (istri) lebih dari satu
()  لَا أَقْعُدُ اْلجُبْنَ عَنِ اْلهَيْجَاءِ  #  وَلَوْ تَوَالَتْ زُمَرُ اٌلأَعْدَاءِ
(302) aku tidak akan bertopang dagu meninggalkan perang karena pengecut, sekalipun golongan musuh datang berbondong-bondong
Ma’na tafsiri: Bait ini juga bisa dibuat sebagai dalil larangan pergi meninggalkan perang karena takut kepada musuh,meskipun barisan musuh lebih banyak.
()  وَمَا يَلِي اْلمُضَافَ يَأْتِيِ خَلَفَا  #  عَنْهُ فِي اْلإِعْرَابِ إِذَا مَا حُذِفَ
(413) lafadz yang mengiringi mudhof dapat menggantikan kedudukan mudhof dalam I’rob apabila mudhof di buang
Ma’na tafsiri: Jika mudlof terbuang maka tempatkanlah mudlof ilaih pada tempatnya mudlof. Bait ini menggambarkan hubungan antara kyai dan santri. Jika kamu seorang santri, maka jadilah kamu seperti seorang santri. Jangan sok-sokan berlagak layaknya kyai. Tapi jika kamu telah menjadi seorang kyai pada waktunya, maka wajib bagimu melakukan trtadisi atau perbuatan yang dilakukan oleh kyaimu dulu.
()  فَأَلِّفُ التَّأْنِيْسِ مُطْلَقَا مَنَعْ  #  صَرْفَ اَّلذِيْ حَوَاهُ كَيْفَمَا وَقَعْ
(650) alif ta’nits secara muthlaq dapat mencegah tanwin dari isim yang mengandunginya, manakala memasukinya
Ma’na tafsiri:(أَلِّفُ) cinta seorang laki-laki kepada perempuan (التَّأْنِيْسِ) itu tercegah dengan mutlaq (مُطْلَقَا مَنَعْ) karena cinta tersebut bisa
Mencegah dari kesuksesan angan-angan.